Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Diposting oleh benazir_aisya on
A. Latar Belakang Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Pemilihan Umum tahun 1955 telah berhasil membentuk DPR dan Dewan Konstituante ( badan pembentuk UUD ). Namun, DPR yang seharusnya memperjuangkan kepentingan umum dan meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata dimanfaatkan oleh wakil - wakil partai untuk memperjuangkan kepentingan partainya sendiri.

Mirip dengan DPR, Dewan Konstituante yang bertugas membuat UUD tidak memberikan hasil yang nyata. Dalam sidang - sidangnya para anggota dewan selalu mengedepankan kepentingan partainya dari pada kepentingan bangsa. Selalu terjadi pertentangan - pertentangan antar-golongan yang menyebabkan lembaga itu tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Pertentangan ini terutama menyangkut masalah dasar negara. Akibatnya, sidang-sidang Konstituante selalu tidak menghasilkan apa - apa.

Kemacetan sidang Konstituante itu dianggap sebagai kegagalan nasional. Melihat kondosi tersebut, muncul tuntutan masyarakat agar Dewan Konstituantememberlakukan kembali UUD 1945. Tuntutan tersebut kian mengemuka hingga perdana mentri Djuanda menganjurkan kepada badan tersebut untuk menetapkan kembali UUD 1945 sebagai undang - undang dasar negara kesatuan Indonesia. Anjuran tersebut didukung penuh oleh semua anggota kabinet. Bahkan, pada 20 Februari 1959 Presiden Soekarno juga menyetujuinya. Berdasarkan usul Kabinet Karya yang memerintah pada saat itu, Presiden Soekarno pada 22 April 1959 berpidato di depan sidang Konstituante. Inti pidato tersebut ialah menganjurkan agar Dewan Konstituante menetapkan UUd 1945 menjadi UUD republik Indonesia.

Menanggapi usul Presiden Soekarno tersebut, pada 29 April-13 Mei 1959 Dewan Konstituante mengadakan sidang dan pemungutan suara sebanyak 3 kali. Hasilnya memang lebih banyak setuju. Namun, jumlahnya tidak dapt memenuhi mayoritas karena tidak mencapai dua per tiga jumlah suara yang diperlukan. Oleh karena itu, hasil pemungutan suara tersebut tidak dapat dijadikan keputusan.

Setelah gagal mencapai kata sepakat, banyak anggota dewan yang kemudian tidak mau hadir dalam sidang - sidang dewan selanjutnya. Untuk itu, tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses ( istirahat ). Suasana yang serba tidak pasti ini tentu dapat membahayakan bangsa dan negara. Apalagi, di daerah - daerah sudah mulai tumbuh rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat dan dewan. Melihat situasi ini, Penguasa Perang Pusat Letjen A.H. Nasution, mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik. Soewirjo ( Ketua Umum PNI ) meminta Presiden soekarno untuk mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Atas desakan - desakan dari berbagai pihak dan demi keselamatan negara, Presiden Soekarno akhirnya mengambil langkah inkonstitusional.

B. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 upacara resmi di Istana Negara, Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden. Adapun isi pokok Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, yaitu :
  1. Pembubaran Konstituante,
  2. Berlakunya kembali UUD 1945,
  3. Tidak berlakunya UUD 1950 (UUDS).

Di samping ke-3 hal tersebut, ditetapkan pula bahwa akan segera dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Dekrit tersebut mendapat sambutan dari seluruh rakyat yang sudah jenuh pada kemandekan nasional, korupsi, dan tertundanya pembangunan. Pimpinan Angakatan Darat kemudian mengeluarkan perintah harian agar mengamankan Dekrit Presiden ini. DPR hasil pemilu 1955 secara aklamasi bersedia bekerja terus dalam rangka UUD 1945.

0 komentar:

Posting Komentar

Leave your Comment !